PEMBAHASAN
A.
Definisi
Agama dan Ilmu
Agama merupakan sebuah kata yang sangat familiar dengan
pendengaran kita. Istilah agama nampaknya sudah menyatu dan tak terpisahkan
dalam kehidupan sehari-hari, bahkan dalam kehidupan manusia secara universal.
Kita sering menggunakan istilah “agama” dalam kehidupan sehari-hari, seperti:
agama Islam, agama Kristen, kehidupan beragama, toleransi agama, dan
sebagainya. Namun, ketika kita bertanya tentang apa sebenarnya agama itu, atau
apa definisi agama itu, ternyata kita merasa kesulitan, dengan kata lain kita
tidak bisa mendapatkan definisi yang pas dan bisa diterima oleh orang lain.
Hal ini sejalan dengan pernyataan Prof. Dr. H. A. Mukti Ali,
“barangkali tidak ada kata yang paling sulit diberi pengertian dan definisi
selain dari kata agama”. Pernyataan ini didasarkan pada tiga argumentasi. Pertama,
bahwa pengalaman agama adalah soal batini, subyektif dan sangat
individualis sifatnya. Kedua, barangkali tidak ada orang yang begitu
bersemangat dan emosional dari pada membicarakan agama, karena itu membahas
arrti agama itu selalu ada emosi yang kuat sekali, sehingga sulit memberikan
arti kata agama itu; dan ketiga, konsepsi tentang agama dipengaruhi oleh
tujuan dari orang yang memberi definisi tersebut.[1]
Dengan demikian terdapat banyak sekali definisi-definisi yang
pernah dibuat orang tentang agama. Karena setiap orang yang mendefinisikan
agama memiliki cara yang berbeda dalam memahami agama. Dan juga, hal ini
dikarenakan pengalaman beragama adalah subyektif, intern, dan individual,
dimana seseorang akan merasakan pengalaman yang berbeda dengan orang lain.
Pemaparan diatas sengaja kami kemukakan terlebih dahulu agar sejak awal kita
tidak memiliki anggapan bahwa pengertian yang diberikan seorang ahli lebih baik
dari pada pengertian yang lain.
Secara umum agama memang menyangkut hubungan manusia dengan
sesuatu yang mutlak dan ghaib, sedangkan kemampuan berfikir manusia terbatas.
Di sisi lain agama juga tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia dan
masyarakat, yang kemudian menjelama menjadi gejala-gejala yang bervariasi yang
terdapat dalam masyarakat itu sendiri.
Agama secara etimologis berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu a
yang berarti tidak, dan gama yang berarti kacau, pergi, kocar-kacir.
Jadi, kata agama dapat diartikan ttidak pergi, tidak kacau, dan/atau teratur.
Definisi ini mengindikasikan bahwa agama merupakan kepercayaan yang menjadikan
kehidupan yang teratur dan tidak kacau serta mendatangkan kesejahteraan dan
keselamatan bagi manusia.[2]
Ada juga yang berpendapat bahwa agama berasal dari kata gam yang berarti
pergi, tetapi kemudia mendapatkan awalan dan akhiran a. Setelah mendapat
awlan dan akhiran a menjadi agama, artinya menjadi: jalan. Yang
dimaksud jalan disini adalah jalan hidup.
Dengan demikian pengertian etimologis dari kata agama mengandung
arti yang bersifat mendasar yang dimiliki oleh berbagai agama, yaitu bahwa
agama adalah jalan, jalan hidup; atau jalan yang harus ditempuh oleh manusia
dalam kehidupannya di dunia ini; jalan yang mendatangkan kesejahteraan dalam
kehidupan yang teratur, aman, tentram, sebagaimana makna umum yang ada pada
berbagai agama.
Di sisi lain ada beberapa istilah lain dari agama yaitu religi
dan ad-dien. Religi berasal dari bahasa Latin, yang berasal dari kata relegere
atau relegare. Kata relegere berarti mengumpulkan dan
membaca.[3]
Hal ini sesuai dengan isi agama yang mengandung kumpulan cara-cara beribadah
kepada Tuhan yang terkumpul dalam kitab suci yang harus dibaca. Sedangkan relegare
berarti mengikat.[4]
hal ini memang sesuai dengan ajaran-ajaran agama yang mengikat manusia dengan
Tuhannya. Sedangkan ad-dien berasal dari bahasa Arab dari kata dasar دَانَ , yang arti dasarnya adalah “hutang”,
sesuatu yang harus dipenuhi atau ditunaikan. Dalam bahasa Semit, induk bahasa
Arab, kata دِيْنُ berarti undang-undang atau hukum. Dengan
demikian kata tersebut menunjukkan pengertian agama sebagai undang-undang atau
hukum yang harus ditunaikan oleh manusia.
Sedangkan secara terminologisnya agama dapat diartikan sebagai
aturan atau undang-undang hidup yang ditetapkan oleh Tuhan yang mengatur
tatacara pengabdian/ibadah manusia terhadap Tuhannya yang harus dilaksanakan
dengan penuh tanggung jawab dan tetap sesuai dengan fitrah dan tujuan
penciptaan, yang nantinya akan membawa manusia kepada kehidupan yang teratur
dan sejahtera dunia dan akhirat.
Sedangkan ilmu menurut kamus Besar Bahasa Indonesia Ilmu diartikan
sebagai pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut
metode tertentu, yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala tertentu di
bidang (pengetahuan) itu; atau pengetahuan atau kepandaian tentang
soal duniawi, akhirat, lahir, batin, dan sebagainya.
Kata ilmu (science) dalam bahasa Arab "ilm" yang
berarti memahami, mengerti, atau mengetahui. Dalam kaitan penyerapan katanya,
ilmu pengetahuan dapat berarti memahami suatu pengetahuan, dan ilmu sosial
dapat berarti mengetahui masalah-masalah sosial, dan sebagainya.
Sedangkan pengetahuan (knowledge) adalah hasil dari
aktivitas mengetahui, yakni tersingkapnya kenyataan ke dalam jiwa hingga tidak
ada keraguan terhadap sesuatu.
Berbeda dengan pengetahuan, ilmu merupakan pengetahuan khusus tentang apa penyebab
sesuatu dan mengapa. Ada persyaratan ilmiah sesuatu dapat disebut sebagai ilmu. Sifat ilmiah
sebagai persyaratan ilmu banyak terpengaruh paradigma ilmu-ilmu alam yang telah
ada lebih dahulu.
Pertaama, Objektif. Ilmu harus
memiliki objek kajian yang terdiri dari satu golongan masalah yang sama sifat
hakikatnya, tampak dari luar maupun bentuknya dari dalam. Objeknya dapat
bersifat ada, atau mungkin ada karena masih harus diuji keberadaannya. Dalam
mengkaji objek, yang dicari adalah kebenaran, yakni persesuaian antara tahu
dengan objek, sehingga disebut kebenaran objektif; bukan subjektif berdasarkan
subjek peneliti atau subjek penunjang penelitian.
Kedua, Metodis. Metodis adalah upaya-upaya yang dilakukan untuk
meminimalisasi kemungkinan terjadinya penyimpangan dalam mencari kebenaran.
Konsekuensinya, harus ada cara tertentu untuk menjamin kepastian kebenaran.
Metodis berasal dari bahasa Yunani “Metodos” yang berarti: cara, jalan. Secara
umum metodis berarti metode tertentu yang digunakan dan umumnya merujuk pada
metode ilmiah.
Ketiga, Sistematis. Dalam perjalanannya mencoba mengetahui dan menjelaskan
suatu objek, ilmu harus terurai dan terumuskan dalam hubungan yang teratur dan
logis sehingga membentuk suatu sistem yang berarti secara utuh, menyeluruh,
terpadu , dan mampu menjelaskan rangkaian sebab akibat menyangkut objeknya.
Pengetahuan yang tersusun secara sistematis dalam rangkaian sebab akibat
merupakan syarat ilmu yang ketiga.
Keempat, Universal. Kebenaran yang hendak
dicapai adalah kebenaran universal yang bersifat umum (tidak bersifat
tertentu). Contoh: semua segitiga bersudut 180º. Karenanya universal merupakan
syarat ilmu yang keempat. Belakangan ilmu-ilmu sosial menyadari kadar
ke-umum-an (universal) yang dikandungnya berbeda dengan ilmu-ilmu alam
mengingat objeknya adalah tindakan manusia. Karena itu untuk mencapai tingkat
universalitas dalam ilmu-ilmu sosial, harus tersedia konteks dan tertentu pula.
B.
Islam
sebagai Agama
Islam merupakan nama yang yang memang diberikan Allah swt. kepada
sebuah agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. Tidak seperti agama yang lain,
islam bukanlah nama yang lahir berdasarkan nama pendiri atau pembawanya.
Misalnya agama Budha karena pendirinya adalah Budha Gautama, Kristen karena
tokoh yang mendirikannya adalah Nabi Isa atau Yesus yang bergelar Al-Masih atau
Kristus. Islam juga bukan berdasarkan nama tempat munculnya sebuah agama.
Misalnya agama Hindu yang muncul di India, Hindia atau Hindustan. Islan juga
bukan nama sebuah bangsa dimana sebuah agama lahir. Misalnya agama Yahudi yang
lahir di kalangan bangsa, suku atau dinasti Yehuda atau Yuda. Dan Islam juga
bukan nama tempat lahir pendiri sebuah agama. Misalnya agama Nasrani yang
berdasarkan tempat kelahiran Nabi Isa, yaitu Nazareth di Palestina.
Sebagai mana firman Allah swt. dalam surat al-Maidah ayat 3.
“Pada
hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu
nikmatKu, dan telah Kuridlai Islam itu menjadi agamamu”.
Dari ayat tersebut kita dapat mengetahui bahwa Islam merupakan
nama khusus yang diberikan Allah swt. kepada sebuah agama yang dibawa oleh
rasul-Nya. Sebenarnya Islam bukan merupakan agama baru karena Islam merupakan
agama yang juga telah diturunkan kepada Nabi-nabi atau Rasul-rasul sebelumnya.
Dengan demikian, pemakaian nama “Mohammedanisme” untuk menunjukkan agama Islam
sebagaimana banyak ditulis oleh para penulis Barat (Orientalist) bukan hanya
“salah” tetapi juga mengandung “penghinaan”.
Pamakaian nama tersebut diklaim salah karena Muhammad bukanlah
orang yang membuat atau mendirikan agama Islam, tetapi pembuatnya adalah Allah
swt. Muhammad hanyalah sebagai pembawa, penyampai apa yang diajarkan oleh Allah
swt. Dikatakan penghinaan karena Mohammedanism mengandung arti bahwa Islam itu
berpusat pada Muhammad, manusia, bukan Tuhan. Lain halnya dengan pemakaian nama
Kristen untuk agama yang dibawa oleh Isa bin Maryam (Yesus) karena pemeluk
agama Kristen sendiri yang menyatakan keimananya kepada Isa al-Masih sebagai
Tuhan mereka.
Islam secara etimologis berasal dari bahasa Arab yaitu dari kata salima
yang mengandung arti selamat, sentosa dan damai.[5]
Yang selanjutnya diubah bentuk aslama yang berarti berserah diri dalam
kedamaian. Dengan demikian dapat dikatakan hakikat dari agama Islam adalah
berserah diri kepada Tuhan. Hal ini tidak hanya menjadi sebuah ajaran Tuhan
Kepada hambanya, akan tetapi Islam diajarkan sebagai pemenuhan fitrah manusia
yang butuh akan agama. Sehingga pertumbuhannya dan perwujudannya pada manusia
selalu bersifat intern, bukan merupakan paksaan dari luar. Karena seandainya
ada unsur paksaan maka menyebabkan Islam tidak otentik, karena kehilangan
dimensinya yang paling mendasar dan mendalam, yaitu kemurnian dan keikhlasan.
Sedangkan Isalam secara terminologis merupakan sebuah agama yang
diwahyukan oleh Allah swt. kepada rasulnya untuk disampaikan kepada masyarakat.
Jadi, dengan demikian jelaslah bahwa Islam adalah wahyu, dan bukan merupakan
sebuah agama yang dibuat oleh Muhammad yang hanya sebagai penyamapai dan penjelas
risalah-risalah Tuhannya. Namun keterlibatannya masih dalam batas-batas yang
dibolehkan Tuhan.[6]
Dilihat dari segi ajarannya, Islam memiliki dua sumber hukum utama
yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah yang memuat segala hal yang ada di dunia dan
akhirat. Dengan kata lain Islam merupakan agama yang kompleks. Hal ini dapat
dilihat dari luasnya cakupan ajaran agama Islam, diantaranya adalah dalam
bidang agama, ibadah, akidah, ilmu dan kebudayaan, pendidikan, sosial,
kehidupan ekonomi, kesehatan, politik, pekerjaan, disiplin ilmu, dan
sebagainya. Maka dengan demikian tidak cukup apabila kita hanya menelaah atau
mengkaji agama –Islam- dengan menggunakan satu metode pendekatan.
C.
Agama
sebagai Kajian Ilmiah
Ketika seseorang mengkaji agama, pertama-tama hal yang harus
diketahui ialah bagaimana atau dimana agama itu didudukkan dalam kajiannya.
Sebab selain agama bersifat manusiawi dan historis, dirinya juga
mempunyai klaim bahwa ia mempunyai sisi yang bersifat transendental. Yang
pertama agama dipandang sebagai hal yang bersifat normatif-doktriner, sementara
yang kedua sebagai gejala budaya dan sosial. Dengan mengetahui hal ini,
setidaknya pengkaji bisa mengetahui pada sisi-sisi mana yang akan menjadi objek
kajiannya dari agama.
Penelitian agama menempatkan diri sebagai suatu kajian yang
menempatkan agama sebagai sasaran/obyek penelitian. Secara metodologis berarti
agama haruslah dijadikan sebagai suatu yang riil betapapun mungkin terasa agama
itu sesuatu yang abstrak. Dalam membahas agama -Islam- sebagai objek kajian, akan
dibahas hal-hal sebagai berikut; Agama sebagai wahyu, dan agama sebagai gejala
budaya dan sosial.
a. Agama sebagai Wahyu
Agama –Islam, biasanya didefinisikan sebagai berikut: al-Islam
wahyun ilahiyun unzila ila nabiyyi Muhammadin Shallallahu ‘alaihi wasallama
lisa’adati al-dunya wa al-akhirah (Islama adalah wahyu yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad saw. sebagai pedoman untuk kebahagiaan hidup di dunia dan
di akhirat).[7] Jadi, intinya adalah Islam merupakan wahyu
yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. Seperti yang telah kita ketahui
bersama bahwa wahyu terdiri atas dua macam: wahyu yang berbentuk Al-Qur’an, dan
wahyu yang berbentuk hadits, sunnah Nabi Muhammad saw.
Al-Qur’an merupakan sumber hukum yang kompleks. Maksudnya,
Al-Qur’an memuat berbagai macam persoalan-persoalan yang ada di sekitarnya.
Sehingga untuk memahami, mempelajari, mengerti, mengkaji Al-Qur’an memerlukan
ilmu yang kompleks juga. Hal ini bertujuan agar pemahaman kita terhadap
Al-Qur’an lebih bersifat komprehensif. Hal inilah yang kemudian melahirkan Ulumul
Qur’an.
Dalam studi Al-Qur’an bukan mempertanyakan kebenaran Al-Qur’an
sebagai wahyu, tetapi misalnya mempertanyakan bagaimana membaca Al-Qur’an,
mengapa cara membacanya seperti itu, berapa macam jenis bacaan itu, apa
sesungguhnya yang melatarbelakangi turunnya sebuah ayat, apa maksud ayat itu,
dan lain sebagainya. Maka lahirlah misalnya tafsir maudu’i yang
merupakan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut. Namun, yang menjadi
persoalan selanjutnya, jika dahulu dipahami seperti itu, apakah sekarang masih
harus dipahami sama seperti itu atau perlu pemahaman baru?
Dalam ilmu tafsir misalnya, sebuah studi tekstual dan
kontekstual tentang Al-Qur’an. Sekarang sudah ada juga studi hermeneutika
Al-Qur’an. Apa itu hermeneutika Al-Qur’an dan bagaimana penerapannya dalam
Islam? Hal ini memang baru dan mungkin masih belum dikenal oleh para mufassir
terdahulu. Selain itu, yang perlu diperhatikan juga adalah studi
interdisipliner tentang Al-Qur’an. Hal ini dikarenakan Al-Qur’an dengan kekomplekannya
tidak hanya berbicara mengenai teologi, ibadah, norma-norma, tetapi juga
berbicara tentang sebagian isyarat-isyarat ilmu pengetahuan. Jadi ilmu-ilmu
seperti sosiologi, botani, dan semacamnya perlu juga dipelajari untuk memahami
isi kandungan Al-Qur’an secara komprehensif.
Islam sebagai wahyu tercermin dalam hadits-hadits Nabi Muhammad
saw. Seperti halnya Al-Qur’an, terdapat berbagai macam persoalan yang ada di
sekitar hadits. Sebagaimana yang terdapat dalam buku hadits pertama, Al-Muwattha’,
hanya memuat sekitar 700 hadits. Sedangkan selanjutnya berjumlah sekitar 4000
hadits yang dikumpulkan oleh Imam Bukhari, 6000 hadits oleh Imam
Muslim, dan 8500 hadits yang dikumpulkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal.
Mengapa hal ini bisa terjadi? Dan kemudian ada hadits shohih, hadits hasan,
hadits mutawatir, hadits ahad, hadits mashur, dan lain-lain. Inilah yang dapat
kita jadikan kajian. Misalnya lagi Imam Muslim yang tadinya sudah mengumpulkan
sekitar 300.000 hadits, tetapi setelah diseleksi menjadi hanya sekitar 6000
hadits. Mengapa bisa demikian? Untuk menjawabnya kita dapat meneliti rijalul
haditsnya, matan, atau perawi hadits tertentu. Kita juga dapat melihat
buku-buku syarah hadits. Wilayah-wilayah inilah yang bisa kita jadikan kajian.
Tetapi tentunya dalam mengkaji hal yang tidak sederhana ini, kita memerlukan
metodologi studi yang memadai, misalnya dengan studi hemeneutika dan historical
criticism. Dan tidak bisa hanya mencukupkan pada metode teologis-normatif
saja dalam mengkaji agama yang begitu kompleks tersebut.
b. Agama sebagai Gejala Budaya dan Sosial
Agama dan budaya adalah dua hal yang berbeda tetapi tidak mungkin
dipisahkan. Keberadaan sebuah agama akan sangat dipengaruhi dan mempengaruhi
pengamalan sebuah agama yang bersangkutan. Sebaliknya sebuah kebudayaan akan
sangat dipengaruhi oleh keyakinan dari masyarakat di mana kebudayaan itu
berkembang. Oleh karena itu agama bukan saja menjadi masalah individu tetapi
agama juga merupakan sebuah urusan sosial yang pada akhirnya orang yang
beragama tidak hanya sekedar mampu melahirkan keshalehan individual tetapi juga
harus mampu melahirkan keshalehan sosial.
Semula hanya ada dua ilmu yaitu ilmu kealaman dan ilmu budaya.
Kedua ilmu ini memiliki karakteristik yang berbeda. Ilmu kealaman berangkat
dari tanda-tanda keteraturan yang terjadi di alam raya, suatu penemuan atas
gejala alam pada saat yang lain juga akan menghasilkan hal yang sama (tetap).
Sebagai contoh air akan selalu mengalir ke tempat yang lebih rendah, benda yang
dilempar ke atas akan jatuh ke bawah dan gejala alam lainnya. Apabila suatu
saat dua hal tersebut diteliti lagi maka hasilnya akan cenderung sama karena
adanya pengaruh gaya gravitasi bumi. Sedangkan ilmu budaya mempunyai sifat
tidak berulang tetapi unik.[8]
Seperti contoh perayaan sekaten bagi masyarakat Solo dan Yogyakarta, Grebeg
tanggal 10 Dzulhijah bagi masyarakat Demak, Dugderan menjelang ramadhan bagi
masyarakat Semarang, Apeman bagi masyarakat Pekalongan dan lain-lain. Keunikan
peringatan tersebut bukan karena pengulangannya. Ilmu sosial posisinya berada
di antara ilmu kealaman dan ilmu budaya yang berusaha memahami gejala-gejala
yang tidak berulang tetapi dengan cara memahami keterulangannya. Sehingga dari
keobjektivannya ilmu sosial mengalami problem, yaitu benarkah hasil peneletian
sosial itu objektif dan dapat dites kembali keterulangannya? Untuk menjawab
pertnyaan ini terdapat dua pandangan. Pertama, ilmu sosial lebih dekat
kepada ilmu budaya yang bersifat unik, misalnya penelitian antropologi sosial. Kedua,
ilmu sosial lebih dekat kepada ilmu kealaman, karena fenomena sosial dapat
berulang dan dapat dites kembali. Misalnya pemberian stimulan pada suatu
kelompok yang kemudian akan memberikan sebuah reaksi sebagai sebuah gejala
sosial, dan hal ini dapat terjadi pada kelompok lain dengan stimulan yang sama.
Maka ada ilmu statistik yang mengukur gejala-gejala sosial secara lebih cermat
dan baku.
Ada lima bentuk gejala yang harus diperhatikan ketika kita hendak
mempelajari suatu agama. Pertama, scripture, naskah-naskah,suber
ajaran dan simbol-simbol agama. Kedua, para penganut atau pemimpin dan
pemuka agama, yakni sikap, peilaku dan penghayatan para penganutnya. Ketiga,
ritus-ritus, lembaga-lembaga, dan ibadat-ibadat seperti shalat, puasa, haji
perkawinan dan waris. Keempat, alat-alat seperti masjid, gereja,
lonceng, peci dan semacamnya. Kelima, organisasi-organisasi keagamaan
tempat para penganut agama berkumpul dan peran, seperti Nahdlatul Ulama,
Muhammadiyah, dan lain-lain.[9]
Maka dengan uraian di atas, dapat kita tangkap bahwa agama dan
pemeluknya merupakan satu kesatuan yang sangat saling memengaruhi satu sama
lain. Di sisi lain manusia tidak bisa lepas dari kodratnya sebagai makhluk
sosial dan berbudaya. Dengan demikian kita tidak cukup megkaji agama dengan
pendekatan doktriner-normatif saja, tetapi dalam hal ini kita juga perlu
memperhatikan aspek-aspek lainnya. Maka kita dapat menggunakan pendekatan yang
lain seperti pendekatan sosiologis, pendekatan kebudayaan/humaniora, pendekatan
antropologis dan sebagainya.
[1]
A. Mukti
Ali. Universalitas dan Pembangunan. (Bandung: IKIP Bandung, 1971), hlm.
4.
[2] Tadjab,
Muhaimin, dan Mujib, Abd. Dimensi-Dimensi Studi Islam. (Surabaya: Karya
Abditama 1994) hlm. 37.
[4] Ibid.
[6] Ibid.
Hlm. 65.
[7] M. Atho Mudzhar. Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan
Praktek. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2004) cet. VI. Hlm. 19.
[8] Ibid. Hlm. 12.
[9] Ibid.
Hlm. 14.

0 Komentar