“Hubungan ibu dan anak adalah paradoks, dan dalam arti tertentu tragis. Hal ini membutuhkan cinta paling intens di sisi ibu, namun cinta ini yang harus membantu anak tumbuh jauh dari ibu, dan menjadi sepenuhnya independen.”—Erich Fromm

Saya ingin sedikit menulis kisah seseorang yang bernama Jan Koun, lahir dan dibesarkan keluarga imigram miskin Ukraina. Umur 16 tahun diboyong keluragnya pindah ke Amerika Serikat demi mengejar “American Dream”. Ia makan dari jatah pemerintah. Nyaris menjadi gelandangan. Seperti lagunya bang haji—langit sebagai atap rumah dan bumi sebagai lantainya.
Ia bekerja sebagai tukang bersih supermarket. Kalau di Indonesia mungkin bisa disejajarkan dengan Cleaning Service. Hidupnya makin terjal, berkelok, mendaki, dan penuh onak duri saat ibunya divonis kanker.

Koun sempat kuliah di San Jose Univerity. Ia pilih droup out karena lebih suka belajar programming secara autodidak. Jan koun pernah bekerja sebagai engineer di Yahoo selama 10 tahun. Koun berkarib dengan Brian Acton. Mereka berdua setelah resign dari Yahoo, mendirikan aplikasi gadget. Mereka pernah sama-sama ditolak Google saat melamar kerja.
Jum’at, 21 Februari 2014, aplikasinya resmi dibeli seharga 211 triliun rupiah. Jan Koun melakukan ritual mengharukan. Ia menempati tempat saat masa remaja pernah mengantre jatah makan. Ia menyandarkan kepala pada dinding antrean.
Air matanya meleleh mengenang saat-saat tidak punya uang. Ia teringat ibunya menjahit baju demi menghemat pengeluaran. Koun menyesal tidak pernah bisa menyampaikan berita bagus penjualan aplikasinya kepada ibunya. Remaja miskin yang dulu mengantre makanan catu makanan pemerintah kini jadi triliuner. Siapakah Jan Koun sebenarnya? Dia adaah pembuat aplikasinya Gadget yang lebih dikelan dengan WA (WhatsApp).
Siapa yang tidak mengenal WA di era digital ini? hampir semua orang mengenal di seluruh dunia. Kecuali mereka yang tidak mempunyai ponsel.
Cerita di atas mengajarkan kepada kita, betapa hidup di dunia ini penuh dengan misteri dan paradoks, bahkan bisa dikatakan dengan kontradiksi. Hidup tak ubahnya bom waktu yang akan meletus setiap saat. Saat bom waktu meletus maka ituah akhir kehidupan kita di dunia ini.
Hidup juga mengajarkan kepada kita. Bagaikan roda pedati yang terus berputar pada titik porosnya. Kadang berada di bawah kadang juga berada di atas. Mustahil seseorang akan berada di atas terus menurus, dan mustahil juga orang yang selalu berusaha sekuat tenaganya akan tetap berada di bawah.
Maka pada titik inilah diperlukan suatu kedaran dan kemauan—kesadaran bahwa kita wajib menghormati setiap orang. Boleh jadi orang tersebut sekarang adalah bawahan kita, sepuluh tahun ke depan akan menjadi atasan kita. Apabila saat kita menjadi atasannya, perlakuan kita sewenang-wenang, maka jangan heran apabila nanti perlakuan yang sama akan terjadi kepada kita.
Bijak bestari sering berkata, “Apa yang kita lakukan hari ini, adalah cerminan keadaan kita di waktu mendatang”. Sehingga berbuat baiklah setiap waktu setiap keadaan. Suatu ketika kita hanya bisa berjalan merangkak, siapa yang peduli dengan kita? Orang tua kita mengajarkan arti penting dalam menghargai sesama.
Pada saat kedudukan orangtua longsor wibawa dan ikatan keluarga tengah mendapat cobaan yang belum pernah terjadi pada era sebelumnya, kita beruntung diasuh orangtua berbudi pekerti luhur dalam melatih otot-otot empati anak-anak mereka menghadapi situasi kontradiktif dan paradoksal.
Kita hidup pada era kontradiktif dan paradoksal. Keyakinan tinggal pemikirantanpa berbekas pada perbuatan. Banyak orang baik, tetapi tidak berakal. Banyak orang berakal, tetapi tidak beriman. Berlidah fasih, tetapi lalai. Kusyuk, tetapi sibuk dalam kesendirian.
Ahli ibadah, tetapi kemasukan arogansi iblis. Ahli maksiat, tetapi rendah hati bagaikan sufi. Banyak tertawa, tetapi hati berkarat. Banyak menangis, karena kufur nikmat. Murah senyum, tetapi hati mengumpat. Berlian bijak, tetapi tidak memberi teladan. Pezina, tetapi tampil jadi figur. Pintar tetapi membodohi. Beragama, tetapi tidak berakhlak. Berkahlak, tetapi tidak percaya Tuhan.
Layaknya kita patut merenung terhadap kalimat yang dilontarkan oleh K.H. Mustofa Bisri, “Jangan sampai perilakumu menyangkal kemuliaan ucapan-ucapanmu”. Kalimat pendek, ringkas, padat, renyah, dan ringan. Akan tetapi syarat dengan makna dan pesan yang mendalam. Mari kita renungi bersama.