Pagi ini belum genap sampai pukul 6.30 saya mendapatkan kabar duka dari beberapa kolega, tentang meninggaldunianya sanak famili mereka. Kabar ini disampaikannya via group WA yang memang sangat mudah sekali untuk menyebarkan suatu informasi. Sontak hal ini mengingatkan saya akan kematian. Bahwa kapan terjadinya suatu kematian tidak akan ada yang tahu. Kematian itu kapan saja bisa berlangsung. Sang Hujjatul Islam –Imam Al-Ghozali mengatakan bahwa yang paling dekat dengan kita adalah ‘kematian’.
Bolehlah kita berbicara tentang kematian walaupun secara empiris kita belum pernah mengalaminya. Apakah kita harus mati terlebih dahulu, baru kemudian kita berbicara tetang kematian. Banyak ilmu yang mengajarkan tentang kematian, termasuk terjadinya kematian pada seseorang bisa kita jadikan sarana untuk belajar dan muhasabah diri. Seyogyanya kita tidak serta merta meninggalkan kesempatan untuk bertakziah. Karena, hal ini akan mengingatkan kita tentang suatu kematian.
Saya menemukan ungkapan Arab yang tertulis pada buku Prof. Komaruddin Hidayat—Psikologi Kematian (Noura Books: 2015). Ungkapannya seperti ini, “Segala sesuatu yang pasti akan terjadi , berarti dekat.” Kematian adalah kepastian. Maka, mati adalah dekat, bahkan lebih dekat dari kemungkinan kamu jadi orang kaya atau jadi sarjana.
Kita sering lupa, bahwa setiap hari adalah hari kematian bagi kita, iya bagi kita. Ini berarti berlaku bagi semua orang. Bagi seorang Muslim yng hendak tidur dia akan membaca do’a “Bismika Allahumma wa amuut, Ya Allah dengan asma-Mu aku hidup, dan dengan asma-Mu malam ini aku akan mati.” Berarti setiap kali akan tidur kita akan memasuki alam kematian. Jasad dan ruh akan terpisah untuk sementara waktu. Atas kehendak-Nya ketika kita terbangun jasad dan ruh akan menyatu kembali. Apa yang terjadi jika ruh dan jasad kita tidak lagi mampu menyatu menjadi bagian dari kehidupan? Pasti adalah kematian.
Lantas, ketika kematian sudah terjadi pada kita, apakah kita masih bisa mampu manggapai keinginan satu hari yang lalu, yang saat ini belum mampu kita rengkuh. Mustahil bukan. Maka Nabi menyampaikan lewat suatu hadits agar kita menjadi orang yang cerdas dalam menyikapi hidup.
Ibnu Umar r.a. berkata, “Suatu hari aku duduk bersama Rasulullah saw., tiba-tiba datang seorang lelaki dari kalangan Anshar, kemudian ia mengucapkan salam kepada Nabi dan bertaya, “Wahai Rasulullah, siapakah orang mukmin yang utama?” Rasulullah menjawab, “Yang paling baik akhlaqnya”. Kemudian ia bertanya lagi, “Siapakah orang mukmin yang paling cerdas?”. Beliau menjawab, “Yang paling banyak mengingat mati, kemudian yang paling baik dalam mempersiapkan kematian tersebut, itulah yang paling cerdas.” (HR. Ibnu Majah, Thabrani, dan Al-Haitsamiy. Syaikh Al-Albanyy dalam Shahih Ibnu Majah 2/419 berkata: hadist hasan).
Maka kita mampu mengambil suatu pelajaran dari kematian, bahwa Islam memandang kehidupan adalah suatu yang berati. Tidak ada suatu kehidupan di dunia ini –yang diciptakan jika tidak ada tujuannya, tujuan terpenting dari kehidupan adalah mempersiapkan diri kita sebaik-baiknya untuk kehidupan selanjutnya. Agar sewaktu-waktu kita dijemput oleh Izroil kita sudah dalam keadaan siap.
Mayoritas seseorang dihinggapi dengan ketakutan atas terjadi suatu kematian. Memang secara nurani, kita semua menolak kematian. Sakit dan celaka adalah jembatan terpendek untuk menuju kematian sehingga setiap orang selalu dibayangi rasa takut terhadap semua situasi yang tidak nyaman. Mafhum mukholafahnya adalah setiap manusia ingin selalu hidup nyaman.
Akhirnya pilihan kembali pada diri kita pribadi. Kita pilih untuk menjadi manusia yang cerdas dalam menyikapi kehidupan, atau bahkan sebaliknya. Dan sesuatu yang harus tetap kita ingat adalah, bahwa setiap hari (malam) adalah kematian bagi kita.

0 Komentar