Ahmad Fahrudin


Tetiba ingatan saya kembali menyeruak, ingin mengingat ayat al-Qur’an yang pertama kali turun. Ayat ini menjadi pijakan sejarah bagi umat Islam. Sejarah umat Islam jika dipelajari sangatlah panjang dan penuh dengan pelajaran-pelajaran kehidupan. Pelajaran yang demikian itulah yang mampu meningkatkan keimanan bagi siapapun yang membacanya.

Semua tahu yang telah membaca sirah Nabi maupun pelajaran sejarah Islam. Surat yang pertama kali turun adalah QS. al-‘Alaq ayat 1-5. Surat ini diturunkan kepada Nabi Muhammad melalui perantara malaikat Jibril.

Bukan tanpa alasan kenapa Allah menurunkan surat ini untuk pertama kali kepada Nabi Muhammad, dan juga pasti ada sebuah pelajaran yang tersembunyi di baliknya. Saya ingat betul ketika membaca kisahnya tentang bagaimana Nabi Muhammad disuruh membaca oleh Malaikat Jibril sampai 3 kali. Padahal saat itu Nabi Muhammad tidak bisa membaca—ummi—akan tetapi ada yang mengherankan, kenapa Nabi yang saat itu tidak mampu membaca malah diberikan perintah di dalam wahyu yang pertama turun, yaitu iqra’.

Ada hal menarik, meski Nabi tak mampu membaca tetapi Allah sudah menyiapkan bahan bacaannya yang berupa wahyu. Ini menjadi titik pijak yang harus direnungi dan direfleksikan bersama dalam konteks zaman saat ini. Bahwa untuk menumbuhkan sikap agar tradisi membaca ini dapat membumi, salah satunya adalah menyediakan bahan bacaan.

Kondisi semacam ini senada dengan adanya ayat yang harus dibaca, padahal Nabi Muhammad belum mampu membaca. Maka agar Nabi mampu membaca disediakanlah bahan bacaan.

Saya membayangkan andaikata di seluruh sekolah tempat belajar disediakan bahan bacaan yang memadai, tradisi membaca akan mampu dimplementasikan dan dirawat dengan baik. Saya yakin, ini tidak ringan. Akan tetapi jika ini mampu dijalankan dengan strategi-strategi yang tepat, tradisi ini akan mampu diwujudkan.

Saya sendiri dalam menyediakan bahan bacaan ibarat orang yang kelaparan, kemudian menyediakan menu yang banyak akan tetapi tak sempat menikmati semuanya. Seperti dalam bahasa yang lebih halus adalah rakus.

Ketika ada buku yang menarik, baik itu di toko buku offline atau online, di pameran buku, atau ditawarkan oleh kawan saya membeli sebanyak-banyaknya sesuai dengan kondisi keuangan, seolah-olah semua buku yang terbeli ingin saya nikmati untuk dibaca. Namun pada kenyataan tidaklah seperti itu, justru semacam paradoks. Tidak semua buku mampu saya baca. Ada saja alasan yang membuat saya untuk tidak membaca. Ya, inilah dinamika di dalam dunia membaca.

Semacam itulah saya kira kondisi yang terjadi terhadap saya. Apakah Anda juga seperti itu? Saya kira sah-sah saja itu terjadi, dan tidak perlu menyesali. Mari kita sikapi dengan cara yang positif, lebih meluangkan waktu lagi untuk membaca, jika menunggu waktu luang—saya yakin—tidak akan menemukan waktu luang, karena akan selalu ada bagi kita untuk sebuah alasan tidak membaca, sibuk misalnya, dan juga beberapa hal lain.

Satu titik penting saya kira untuk menemukan relevansi dengan adanya ayat yang turun pertama kali kepada Nabi dengan kondisi literasi—baca dan tulis—kita saat ini, yaitu menyediakan bacaan yang memadai, menyempatkan membaca dengan meluangkan waktu dan kemudian mencatat hal-hal penting untuk diambil menjadi sebuah pelajaran bagi kehidupan, syukur-syukur mampu menciptakan tulisan dari sesuatu yang telah dibaca. Di sinilah relevansi antara turunnya ayat dan literasi bisa dijadikan konsep untuk merawat tradisi.