Ahmad Fahrudin 


“Orang kaya adalah orang yang selalu merasa cukup sehingga dia terus berbagi. Orang miskin adalah orang yang selalu merasa kurang hingga dia terus meminta-minta”. Cuplikan kalimat yang inidah dan sarat makna. Kalimat tersebut saya kutip dari buku yang berjudul “Mendidik Pemenang Bukan Pecundang” (hal. 210) karya Dhitta Puji Sarasvati (Dosen Sampoerna University, Jakarta) bersama J. Sumardianta (Penulis Guru Gokil Murid Unyu).

Apabila kita simak dan renungi secara mendalam, dalam realitas kehidupan sekarang ini, kalimat yang saya kutip di atas akan menemukan relevansinya. Lepas nanti ada yang tidak sependapat, saya kira sah-sah saja. 

Gemar berbagi belum tentu mereka yang hartanya,., melimpah ruah secara materi. Akan tetapi, mereka mempunyai kekayaan yang berupa hati. Hatinya lapang, jiwanya besar. Sehingga, sedikit yang mereka punya, ia akan berusaha dengan keras untuk selalu berbagi. Karena, berbagi adalah salah satu dari bagian hidupnya yang tak terpisahkan.

Berbeda dengan orang yang kaya secara harta benda. Belum tentu mereka rela berbagi dengan orang yang ada di sekitarnya. Potret yang seperti itu sering kita jumpai. Ketika para pejabat terkena berbagai macam jeratan kasus korupsi, suap, gratifikasi, dan sebagainya. ini menunjukan bahwa mereka semua belum puas dengan apa yang dimiliki dan didapatkan, semakin mereka mendapatkan sesuatu yang diinginkan, mereka akan semakin merasa tidak puas. Secara lebih arif dan bijak, seyogianya kita yakin, bahwa rezeki Allah itu cukup untuk hidup, tetapi tidak akan cukup untuk gaya hidup.

Aspek di atas hanya sedikit contoh kecil saja. Salah satu dari sekian banyak solusi, salah satu kuncinya adalah pada hati. Terkadang orang lebih sibuk membersihkan rumah, daripada membersihkan hati. Lebih sibuk melapangkan rumah, daripada melapangkan hatinya. Lebih memperhatikan bajunya yang kotor daripada hatinya yang kotor. Dan mereka yang mengisi rumahnya dengan berbagai harta benda, lupa untuk mengisi hatinya dengan berbagai asupan gizi yang mencerahkan.

Hati ibarat sebuah air bening di dalam sebuah wadah. Hati juga ibarat matahari dalam kehidupan. Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya di dalam diri manusia ada segumpal darah (hati), apabila hati itu baik maka baik pula seluruh diri dan amal perbutan manusia dan apabila hati itu rusak maka rusaklah seluruh diri (amal perbuatan manusia tersebut). Ingatlah, ia adalah hati”. (Shahih Bukhari dan Shahih Muslim dari Nu’man Ibn Basyir ra).

Hati adalah ibarat cermin, setitik embun pun bisa membuatnya kusam, apalagi debu, kotoran dan air bernoda hitam. Hati yang kotor tidak mampu menangkap cahaya kebenaran. Namun cermin yang jernih, tak hanya berfungsi untuk mengenali diri sendiri, namun juga membimbing pada ruh-ruh kebaikan.

Seperti petikan lagu dari Abdullah Gymastiar (Aa Gym). “Jagalah hati, jangan kau nodai, jagalah hati lentera hidup ini”. Maka dari itu, jagalah hati kita dengan hati-hati, karena dengan hati yang dijaga dengan berhati-hati. Hati akan bersih dan suci, dan apabila hati sudah bersih-suci, maka orang yang berinteraksi dengannya akan tentram hatinya. Semoga kita mampu istiqomah dan berhati-hati dalam menjaga hati.