Ngobrol Gayeng Para Penulis

Oleh: Ahmad Fahrudin 



Salah satu dari sekian banyak kebahagiaan penulis adalah ketika karyanya lahir. Karya seorang penulis tidak hanya berupa buku solo yang diterbitkan dan dicetak, akan tetapi bisa berupa tulisan yang ada di blog, postingan FB, dan juga bisa terbit berupa buku antologi. Ini saya kira menjadi semacam nutrisi tersendiri untuk meningkatkan imun dalam spirit berliterasi. Apalagi jika hasil karya dijadikan bahan gelaran untuk saling memotivasi orang lain supaya terus semangat berkarya. Tentu ini menjadi sebuah terobosan yang patut diapresiasi.

Gelaran semacam itulah yang diinisiasi oleh LP Ma’arif Tulungagung melalui PERGUNU (Persatuan Guru Nahdaltul Ulama). Acara dikemas dengan santai (meski santai, saya bisa memastikan content-nya sangat berkualitas), yaitu mengambil tema “Jagong Buku”. Jagong buku jika dimaknai secara sederhana berarti ‘ngobrol santai ngomongin buku’, biasanya hal ini disertai dengan camilan dan minuman semacam kopi atau teh—yang akan menambah gayengnya—di dalam obrolan. Gelaran ini dilaksanakan pada Sabtu malam, 16 Januari 2021 melalui aplikasi zoom. Kebetulan dua hari sebelumnya, saya dihubungi oleh Pak Naim—yang menjadi narsum utama dalam gelaran tersebut—untuk membuat link zoom acara Jagong Buku.

Selain Pak Naim ada 4 pemateri yang hadir menyajikan ulasan atas buku yang telah diterbitkannya. Sebagai Srikandi di dalam gelaran acara tersebut adalah Eti Rohmawati—Kepala Madrasah MTs Arrosidiyah Sumberagung Rejotangan—dengan judul bukunya New Normal New Hope. Buku ini menggambarkan bagaimana beraktivitas ketika masuk di dalam masa Pandemi Covid-19. Pandemi merupakan suatu keadaan baru yang harus dijalani. Menjalani keadaan baru ini tidak mudah, perlu adaptasi dengan serius sehingga mampu berjalan dengan baik.

Penulis kedua yang berkesempatan menyampaikan ulasan bukunya adalah Suprianto—Kepala Madrasah MI Miftahul Huda Pakisaji Kalidawir—yang menulis buku dengan judul Merenda Asa, Kisah Hidup dan Pencerahan.  Suprianto mengemas bukunya dengan renyah namun berisi, jika ditelisik dari isi bukunya memang hanya kisah-kisah keseharian. Namun kemasannya menunjukkan bahwa Suprianto mengalami betul beragam kisah yang terjadi di dalam hidupnya sehingga mampu menginspirasi banyak orang. Di sini pentingnya menuliskan catatan dalam sebuah buku menemukan titik signifikansinya.

Mohamad Ansori penulis buku selanjutnya mengulas bukunya dengan begitu luar biasa. Pria yang juga merupakan kepala sekolah SDI Bayanul Azhar Bendiljati Kulon Sumbergempol Tulungagung mengatakan bahwa sebenarnya di dalam dunia tulis menulis sangat disukai sekitar tahun 2010, hal ini dibuktikan dengan membuat blog yang kemudian diisi dengan dua catatan awal, setelah itu tidak dilanjutkan karena berbagai kesibukan lain, barulah akhi-akhir pada beberapa bulan spirit literasinya muncul kembali, bahkan satu hari bisa menghasilkan empat artikel yang di unggah di dalam blog-nya. Bukunya yang berjudul Membangun Pembelajaran Inspiratif terinspirasi dari aktivitas kesehariannya sebagai guru sehingga sampai detik ini dia menjadi kepala sekolah. Hal ini menunjukkan bagaimana dia mempunyai prestasi luar biasa di dalam pembelajaran yang inspiratif sehingga dipercaya menjadi kepala sekolah, sungguh bukan amanat yang ringan, namun amanat ini dijalankan Ansori dengan kesungguhan.

Nurhadi sebagai penulis keempat mengulas bukunya yang berjudul Melukis Mimpi di Masa Pandemi. Buku ini merupakan refleksi kesehariannya yang ditulis kemudian diunggah di blog-nya. Setelah itu direvisi dan dikumpulkan beberapa catatan tersebut menjadi sebuah buku. Nurhadi yang merupakan Pengawas Pendidikan Agama Islam (PPAI) Kemenag Kabupaten Tulungagung mengatakan sebuah buku mampu menyambungkan silaturrahmi dengan teman yang sudah lama tidak bersua.

Secara umum gelaran acara tersebut berjalan lancar, meskipun ada sedikit kendala, yaitu karena ada kesalahan tentang ID zoom yang saya buat schedule meeting sebelum hari pelaksanaan Jagong Buku. Sungguh kesalahan yang tidak disengaja, di tengah acara saya menyampaikan kepada peserta bahwa akan ada sedikit gangguan teknis di tengah jalannya acara, dan saya bersyukur bisa teratasi.

Ada tiga hal yang bisa saya garis bawahi dari ngobrol gayeng malam hari itu. Pertama, jika ditinjau dari keempat penulis di atas adalah orang dengan tingkat kesibukan cukup tinggi. 3 kepala sekolah/madrasah dan 1 pengawas di lingkungan pendidikan, tugasnya tidak ringan. Namun kesibukannya tidak menghalanginya untuk menghasilkan sebuah karya, ini menjadi antitesis bahwa kesibukan menjadi penghalang untuk menulis. Melalui pembuktian keempat penulis tersebut maka kesibukan apapun bukan menjadi penghalang untuk berkarya. Kedua, keempat penulis di atas menulis kemudian diunggah di blog-nya masing-masing, tidak salah jika keempat buku tersebut dinamakan karya buku berbasis blog. Pada kondisi semacam ini blog menjadi penting, yaitu sebagai bank (saving) ide atau penyimpan tulisan agar sewaktu-waktu tulisan dibutuhkan bisa ditemukan dengan mudah, hanya bermodal dengan kuota internal saja.

Ketiga, pokoknya nulis. Ini penting, sebab banyak orang yang ingin menulis tapi kepercayaan dirinya sudah hilang sebelum memulai menulis itu sendiri. Kekhawatiran, kekalutan dan ketakutan sering menghantui dengan dalih nanti jangan-jangan tulisan saya jelek terus banyak dikomentari dan kritik. Satu hal yang harus diyakini—senada dengan yang disampaikan oleh Ngainun Naim—bahwa tugas penulis ya menulis, masalah nanti jelek atau bagus, biar netizen yang menilai dan berkomentar, mereka yang mengomentari belum tentu mampu menghasilkan tulisan seperti kita. Bukankah berkomentar itu lebih mudah daripada melakukan sesuatu yang dijadikan objek komentar? Jika jelek tidak mengapa, jadikan ini sebagai bagian dari sebuah proses, jika bagus anggap ini sebagai bonus. Jika tidak ada jelek dan bagus, ini namanya tidak menulis, dan kondisi ini yang menjadi level terparah. Sing penting pokoknya nulis.

Tulungagung, 21 Januari 2021