Dokumen Pribadi. (Ahmad Fahrudin)


Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia.[1] Ada beberapa tipologi jenis pesantren yang ada di Indonesia. Yakni di antaranya pesantren salaf dan juga pesantren moderen. Pesantren salaf ini biasa mendapat sebutan dengan nama pesantren tradisional, pesantren yang masih menunjukkan dan menjaga tradisi keilmuan ulama’ dahulu. Sementara itu pesantren moderen adalah pesantren yang sepanjang pengamatan saya unggul dalam bidang bahasa asing dan tentu tetap mengajarkan ajaran-ajaran Islam sesuai dengan tuntunan Al-Quran dan Hadits.

    Sedikit pengalaman saya di pesantren salaf—meski tidak lama—adalah bergumul setiap hari dengan kitab-kitab klasik atau dalam istilah lain disebut dengan kutub al-turāth. Kitab ini menjadi rujukan saat di pesantren. Menarik sekali ketika mengkaji kitab-kitab semacam ini. Tentu bagi yang belum terbiasa akan kesulitan. bukan tanpa sebuah alasan, sebab kitab ini ditulis dengan huruf Arab namun tidak berharakat. Jika belum mampu bisa salah ketika membacanya, apalagi secara maknanya.

Biasanya kitab-kitab ini dikaji dengan sistem bandongan.[2] Sistem ini dilaksanakan dengan cara kiai/ustadz membacakan, menerangkan, dan menjelaskan kitab kemudian para santri memberikan makna pegon[3] di bawah kalimat yang telah dibacakan oleh kiai/ustadz.

Begitu pentingnya kitab kuning menjadi salah satu kajian seluruh dunia, pengkajiannya mulai dari tingkatan majelis-majelis informal sampai dengan tingkatan universitas. Tidak hanya di negara Islam saja, pengkajian ini juga dilaksanakan di negara Barat yang terkenal dengan kuatnya esensi orientalismenya. Sebuah asosiasi tentang pengkajian kitab klasik yang didirikan menjadi salah satu bukti bahwa turāth menjadi salah satu kajian yang harus terus dirawat dan dikembangkan. Asosiasi tersebut adalah Islamic Manuscript Association yang merupakan proyek terafiliasi dari Pusat Studi Islam Pangeran Alwaleed bin Talal di Universitas Cambridge. Asosiasi ini ditujukan untuk menyelenggarakan berbagai penelitian, konferensi, beasiswa dalam jangkauan internasional.[4]

Perkara ini sudah menunjukkan bahwa turāth tidak bisa dipandang sebelah mata, turāth telah mendapatkan perhatian dunia internasional. Bahkan digitalisasi turāts sudah ada yang dikenal dengan Maktaba al-Shāmilah.[5] Digitalisasi menjadi menarik dilihat dari kacamata kaum milenial, sebab dengan cara cepat mereka mampu mendapatkan referensi rujukan ketika diperlukan untuk pengembangan keilmuan, tentu selain kelebihan cepat mencari sumber rujukan ada kelemahan. Pertama, sering dijumpai ada ketidakcocokan antara versi cetak dan versi digital. Kedua, karena dapat mencari dengan cepat, orang akan menjadi kurang giat membaca informasi luas yang terdapat dalam sebuah kitab. Dan ketiga, keyword yang digunakan sering tidak sufficient dengan isu-isu terkait yang akan dikaji.[6] Inilah perkembangan teknologi yang mengefisienkan waktu dalam pekerjaan yang dulu berbulan-bulan dalam mengeksekusi, sekarang dalam hitungan menit, bahkan detik mampu terselesaikan.

Proses pengeditan buku memang terasa sangat menarik. Buku yang ditulis oleh dosen muda berbakat ini isinya sangat luar biasa. Dia berani keluar dari pembahasan yang mayoritas orang lakukan, justru dia mengkontradiksikan. Seperti mendayung perahu dengan arah yang berlawan arus. Justru inilah yang akan memperkaya khazanah keilmuan di dalam kitab yang diteliti, yaitu Kitab Uqud Al-Lujjayn.

Kitab karya Syekh Nawawi al-Bantani menawarkan persfektif banyak tafsir, khususnya tentang fungsi dan tugas seorang perempuan yang dulu hanya seorang konco wingking, meminjam bahasa Natsir ada term baru, yakni tiga ‘ur’; sumur, kasur, dan dapur. Seolah-olah mengkerdilkan keahlian perempuan hanya di tiga dimensi itu tadi. Keterkerangkengan dalam dimensi itu tadi sehingga potensi keahlian perempuan yang sebenarnya sangat istimewa akhirnya terkubur dan tidak mampu berkembang.

Dalam kajian persfektif terbaru, yaitu persamaan gender. Sebenarnya tidak ada gap yang sangat jauh antara laki-laki dan perempuan. Natsir menuliskan bahwa pada kondisi yang mengarah kepada lebih baik, Kitab Uqud Al-Lujjayn mengingatkan akan kewajiban seorang suami terhadap istri, begitu juga sebaliknya kewajiban istri terhadap suaminya.

Pada kondisi semacam inilah pergaulan antara laki-laki dan perempuan secara ma’ruf yang harus diejawantahkan. Sehingga tidak akan ada perbedaan yang sangat jauh antara laki-laki dan perempuan, semua saling memiliki hak, dan semua saling menunaikan kewajibannya. Pada titik inilah Kitab Uqud Al-Lujjayn karya Syekh Nawawi al-Bantani menemukan signifikansinya.

Saya ucapkan selamat kepada Saudara Ahmad Natsir telah berani menguak misteri di balik kitab yang sering dikaji pesantren salaf ini. Semoga mampu membuka mata kaum insani dan menambah khazanah literatur keilmuan nusantara. Aamiin.

Tulungagung, 04 Februari 2021



[1]    Imam Syafe’i, “Pondok Pesantren : Lembaga Pendidikan Pembentukan Karakter,” Al-Tadzkiyyah: Jurnal Pendidikan Islam 8, no. I (2017): 62.

[2]    Metode bandongan menjadi metode yang terus digunakan di dalam pesantren walaupn muatannya lebih rumit dan kurang praktis dibandingkan dengan muatan yang di surau dan di masjid. Oleh karenanya, metode bandongandapat disebut metode tradisional, lihat Effendi Chairi, “Pengembangan Metode Bandongan Dalam Kajian Kitab Kuning Di Pesantren Attarbiyah Guluk-Guluk Dalam Perspektif Muhammad Abid Al-Jabiri,” Nidhomul Haq : Jurnal Manajemen Pendidikan Islam 4, no. 1 (2019): 72.

[3]   Martin Van Bruinessen menyebut kegiatan kajian kritis model terjemahan arab pegon dalam upaya pemahaman kitab kuning di pesantren tradisional sebagai terjemahan jenggotan (bearded translation), lihat Bashirotul Hidayah, “Peningkatan Kemampuan Membaca Kitab Kuning Melalui Pembelajaran Arab Pegon,” Murobbi: Jurnal Ilmu Pendidikan 3, no. 1 (2019): 103.

[4]    Latansa, “Reaktualisasi Turats,” Darussalam Gontor, 2019.

[5]   Maktabah Syamilah yang merupakan software berbahasa Arab yang memuat ribuan kitab dari berbagai bidang ilmu keIslaman seperti Tafsir, Hadis, Fiqih, Ushul Fikih, Kalam, Tasawuf, dan lain sebagainya. lihat Oyoh Bariah, “Efektifitas Penggunaan dan Pemanfaatan E-Book Maktabah Syamilah Bagi Dosen dalam Proses Pembelajaran di Fakultas Agama Islam Unsika,” Jurnal Pendidikan Islam Rabbani 1, no. 2 (2017): 235.

[6]     Nur Aris, “Digital Library: Mengenal Al-Maktabah Al-Syamilah,” Digitisation Perspectives 3, no. 2 (2015): 167–177.