Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia.[1] Ada beberapa tipologi jenis pesantren yang ada di Indonesia. Yakni di antaranya pesantren salaf dan juga pesantren moderen. Pesantren salaf ini biasa mendapat sebutan dengan nama pesantren tradisional, pesantren yang masih menunjukkan dan menjaga tradisi keilmuan ulama’ dahulu. Sementara itu pesantren moderen adalah pesantren yang sepanjang pengamatan saya unggul dalam bidang bahasa asing dan tentu tetap mengajarkan ajaran-ajaran Islam sesuai dengan tuntunan Al-Quran dan Hadits.
Sedikit pengalaman saya di pesantren salaf—meski tidak lama—adalah bergumul setiap hari dengan kitab-kitab klasik atau dalam istilah lain disebut dengan kutub al-turāth. Kitab ini menjadi rujukan saat di pesantren. Menarik sekali ketika mengkaji kitab-kitab semacam ini. Tentu bagi yang belum terbiasa akan kesulitan. bukan tanpa sebuah alasan, sebab kitab ini ditulis dengan huruf Arab namun tidak berharakat. Jika belum mampu bisa salah ketika membacanya, apalagi secara maknanya.
Biasanya
kitab-kitab ini dikaji dengan sistem bandongan.[2] Sistem ini dilaksanakan dengan cara kiai/ustadz
membacakan, menerangkan, dan menjelaskan kitab kemudian para santri memberikan
makna pegon[3] di bawah kalimat yang telah dibacakan
oleh kiai/ustadz.
Begitu
pentingnya kitab kuning menjadi salah satu kajian seluruh dunia, pengkajiannya
mulai dari tingkatan majelis-majelis informal sampai dengan tingkatan
universitas. Tidak hanya di negara Islam saja, pengkajian ini juga dilaksanakan
di negara Barat yang terkenal dengan kuatnya esensi orientalismenya. Sebuah
asosiasi tentang pengkajian kitab klasik yang didirikan menjadi salah satu
bukti bahwa turāth
menjadi salah satu kajian yang harus terus dirawat dan dikembangkan. Asosiasi
tersebut adalah Islamic Manuscript Association yang merupakan proyek
terafiliasi dari Pusat Studi Islam Pangeran Alwaleed bin Talal di Universitas
Cambridge. Asosiasi ini ditujukan untuk menyelenggarakan berbagai penelitian,
konferensi, beasiswa dalam jangkauan internasional.[4]
Perkara
ini sudah menunjukkan bahwa turāth tidak
bisa dipandang sebelah mata, turāth telah mendapatkan perhatian dunia
internasional. Bahkan digitalisasi turāts sudah ada yang dikenal dengan Maktaba al-Shāmilah.[5] Digitalisasi menjadi menarik dilihat dari
kacamata kaum milenial,
sebab dengan cara cepat mereka mampu mendapatkan referensi rujukan ketika
diperlukan untuk pengembangan
keilmuan, tentu selain kelebihan cepat mencari sumber rujukan ada kelemahan. Pertama,
sering dijumpai ada ketidakcocokan antara versi cetak dan versi digital. Kedua,
karena dapat mencari dengan cepat, orang akan menjadi kurang giat membaca
informasi luas yang terdapat dalam sebuah kitab. Dan ketiga, keyword yang
digunakan sering tidak sufficient dengan isu-isu terkait yang akan
dikaji.[6] Inilah perkembangan teknologi yang mengefisienkan waktu dalam
pekerjaan yang dulu berbulan-bulan dalam mengeksekusi, sekarang dalam hitungan
menit, bahkan detik mampu terselesaikan.
Proses
pengeditan buku memang terasa sangat menarik. Buku yang ditulis oleh dosen muda
berbakat ini isinya sangat luar biasa. Dia berani keluar dari pembahasan yang
mayoritas orang lakukan, justru dia mengkontradiksikan. Seperti mendayung perahu dengan
arah yang berlawan arus. Justru inilah yang akan memperkaya khazanah keilmuan
di dalam kitab yang diteliti, yaitu Kitab Uqud Al-Lujjayn.
Kitab
karya Syekh Nawawi al-Bantani menawarkan persfektif banyak tafsir, khususnya
tentang fungsi dan tugas seorang perempuan yang dulu hanya seorang konco
wingking, meminjam bahasa Natsir ada term baru, yakni tiga ‘ur’;
sumur, kasur, dan dapur. Seolah-olah mengkerdilkan keahlian perempuan hanya di
tiga dimensi itu tadi. Keterkerangkengan
dalam dimensi itu tadi sehingga potensi keahlian perempuan yang sebenarnya
sangat istimewa akhirnya terkubur dan tidak mampu berkembang.
Dalam
kajian persfektif terbaru, yaitu persamaan gender. Sebenarnya tidak ada gap
yang sangat jauh antara laki-laki dan perempuan. Natsir menuliskan bahwa pada
kondisi yang mengarah kepada lebih baik, Kitab Uqud Al-Lujjayn mengingatkan
akan kewajiban seorang suami terhadap istri, begitu juga sebaliknya kewajiban
istri terhadap suaminya.
Pada
kondisi semacam inilah pergaulan antara laki-laki dan perempuan secara ma’ruf
yang harus diejawantahkan. Sehingga tidak akan ada perbedaan yang sangat
jauh antara laki-laki dan perempuan, semua saling memiliki hak, dan semua
saling menunaikan kewajibannya. Pada titik inilah Kitab Uqud Al-Lujjayn
karya Syekh Nawawi al-Bantani menemukan signifikansinya.
Saya
ucapkan selamat kepada Saudara Ahmad Natsir telah berani menguak misteri di
balik kitab yang sering dikaji pesantren salaf ini. Semoga mampu membuka mata
kaum insani dan menambah khazanah literatur keilmuan nusantara. Aamiin.
Tulungagung, 04 Februari 2021
[1] Imam Syafe’i, “Pondok Pesantren : Lembaga Pendidikan Pembentukan
Karakter,” Al-Tadzkiyyah: Jurnal
Pendidikan Islam 8, no. I (2017): 62.
[2] Metode bandongan menjadi metode yang terus digunakan di dalam pesantren
walaupn muatannya lebih rumit dan kurang praktis dibandingkan dengan muatan
yang di surau dan di masjid. Oleh karenanya, metode bandongandapat disebut
metode tradisional, lihat Effendi Chairi, “Pengembangan Metode Bandongan Dalam
Kajian Kitab Kuning Di Pesantren Attarbiyah Guluk-Guluk Dalam Perspektif
Muhammad Abid Al-Jabiri,” Nidhomul Haq :
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam 4, no. 1 (2019): 72.
[3] Martin Van Bruinessen menyebut kegiatan kajian kritis model terjemahan
arab pegon dalam upaya pemahaman kitab kuning di pesantren tradisional sebagai
terjemahan jenggotan (bearded translation), lihat Bashirotul Hidayah,
“Peningkatan Kemampuan Membaca Kitab Kuning Melalui Pembelajaran Arab Pegon,” Murobbi: Jurnal Ilmu Pendidikan 3, no. 1
(2019): 103.
[4] Latansa, “Reaktualisasi Turats,” Darussalam
Gontor, 2019.
[5] Maktabah Syamilah yang merupakan software berbahasa Arab yang memuat ribuan kitab dari
berbagai bidang ilmu keIslaman seperti Tafsir, Hadis, Fiqih, Ushul Fikih,
Kalam, Tasawuf, dan lain sebagainya. lihat Oyoh Bariah, “Efektifitas Penggunaan
dan Pemanfaatan E-Book Maktabah Syamilah Bagi Dosen dalam Proses Pembelajaran
di Fakultas Agama Islam Unsika,” Jurnal
Pendidikan Islam Rabbani 1, no. 2 (2017): 235.
[6] Nur Aris, “Digital Library: Mengenal Al-Maktabah Al-Syamilah,” Digitisation Perspectives 3, no. 2
(2015): 167–177.


0 Komentar