Makna Personal Guru

Oleh: Ahmad Fahrudin

 

Pengalaman berharga yang tidak saya lupakan salah satunya adalah menjadi seorang guru. Kurang lebih dalam kurun waktu 6 tahun saya mengabdikan diri berusaha mencerdaskan generasi-generasi penerus bangsa. Lembaga swasta yang bernaung di bawah yayasan menjadi tempat saya untuk mencari sebuah pengalaman, mengamalkan ilmu yang saya dapat dan juga belajar bagaimana menjadi seorang guru yang tidak hanya sekadar baik, namun juga bagaimana memahami karakter dari peserta didik yang berasal dari berbagai macam latar belakang.

Sungguh, sebuah aktivitas yang tidak ringan untuk dijalani. Semuanya memerlukan keteguhan, keikhlasan, dan kesabaran. Semuanya harus dirangkai dan berjalan dengan beriringan. Sebagian besar orang menyampaikan pendapat bahwa guru merupakan sebuah profesi yang sangat mulia, melalui cara-cara mendidiknya, siswa-siswi yang kita tidak tahu berapa tahun yang akan datang akan berperan pada seperti apa kepada negara, guru memegang perananan yang sangat penting. Maka saya juga setuju dengan pernyataan bahwa guru adalah profesi yang mulia.



Sebuah buku yang ditulis oleh Agus Riyanto—penulis muda—yang mengabdikan dirinya menjadi seorang guru. Agus tidak sebentar memulai perannya sebagai guru, seingat saya, sejak menjalani kuliah S1 dia sudah menjadi seorang guru pada sekolah setingkat SMP. Dia menyatakan bahwa menjadi guru adalah sebuah amanah mulia, tidak semua orang mempunyai kesempatan demikian. Sehingga anugerah ini seharusnya patut disyukuri. Guru juga memberikan sebuah upaya kuat untuk meengubah nasib seseorang menjadi lebih baik (halaman 3). Sebab tidak sedikit orang yang berubah nasibnya menjadi lebih baik dengan mengenyam proses pendidikan, meski dijalani dengan tidak mudah.

Ilmu yang diajarkan oleh seorang guru akan memiliki manfaat yang tidak kecil. Sesederhana apa pun itu, contoh sederhana adalah mengajar membaca huruf hijaiyah, atau pada level yang lebih tinggi adalah surat al-fatihah. Jika ini diajarkan kepada siswa, maka ketika dibaca oleh siswa setiap hari. Akan memberikan manfaat yang besar, bahkan sebagai seorang muslim, surat al-fatihah merupakan rukun bacaan di dalam melaksanakan salat 5 waktu. Selain memberikan manfaat terhadap siswa, ilmu ini akan menjadi amal jariyah bagi seorang guru yang mengajarkan (halaman 6). Pada kondisi semacam inilah tanpa disadari guru menunjukkan sebuah jalan menuju ke kehidupan yang sesungguhnya.

Era digital sekarang ini menjadi sebuah tantangan yang tidak ringan bagi seorang guru, hampir semuanya berbasis pada sebuah teknologi informasi. Bagi seorang guru yang sudah sangat senior (kolonial), penting diperlukan sebuah peningkatan ketrampilan untuk mendapat pengetahuan yang dalam mengenai tata cara penggunaan teknologi yang digunakan dalam kegiatan belajar mengajar. 

Tujuannya agar tidak tertinggal dengan generasi-generasi guru milenial yang sehari-hari sudah sangat akarab dengan aspek semacam itu. Sehingga mau tidak mau guru harus belajar mengenai teknologi yang semakin hari semakin berkembang, tidak hanya pada aspek mau, menurut Agus juga harus mampu menguasainya (8), jika tidak segera menyesuaiakan, maka generasi-generasi terdahulu pasti lambat laun akan tergerus.

Sangat mungkin, siswa-siswi sekarang ini lebih menguasai teknologi dibanding dengan gurunya. Jika murid zaman kolonial mainannya karet, murid zaman milenial mainannya udah internet. Sebuah perkembangan teknologi yang sangat pesat (halaman 17). Agus juga memberikan sebuah anjuran kepada guru untuk lebih dapat berinovasi dengan strategi mengajarnya, dimensi ini sangat dibutuhkan. sebab apabila tetap memakai metode atau strategi lama, maka proses dan hasil pembelajaran tidak bisa (halaman 26). sesuai dengan kebutuhan zaman, bukankah Ali bin Abi Tholib pernah menyampaikan kalimat bijaknya, “Didiklah anakmu sesuai dengan zamannya”. Sebuah kalimat pendek, namun perlu direnungkan dan direfleksikan secara mendalam.  

Akan tetapi, perlu dipikirkan bersama, ternyata sekolah kini kehilangan maknanya sebagai wahana pendewasaan, bagi seluruh penghuni di dalamnya dan otoritas-otoritas yang bersinggungan dengan keberadaannya.[1] Ini menjadi PR tidak hanya bagi guru saja, tetapi bagi semua warga yang bersentuhan langsung maupun tidak langsung dengan lembaga pendidikan ini. Baik pemerintah, orang tua siswa, dan juga pemangku kebijakan yang ada di berbagai lembaga non-formal.

Buku yang ditulis oleh Agus ini bisa dijadikan menjadi sebuah rujukan bagi seorang guru. Di dalam Bab 2 dan Bab 3 dicantumkan bagaimana menjadi seorang guru yang baik. instrumen-instrumen apa yang harus dipersiapkan sebagai seorang guru ketika akan mengajar, dan juga apa yang harus diteguhkan di dalam diri seorang guru yang sudah menasbihkan dirinya sebagai pendidik.

Tiada gading yang tidak retak, buku yang merupakan karya perdana ini terdapat beberapa kelemahan. Diantaranya; a) beberapa kata yang ditulisnya ada huruf yang belum lengkap, b) penulisan kata depan belum dipisah dengan kata berikutnya, c) kata serapan yang berasal dari istilah asing seharusnya dicetak berbeda dengan kata yang sudah baku, d) penulisan katanya belum sesuai dengan EYD, dan e) tanda baca di akhir kalimat ada beberapa yang masih luput.

Namun demikian, secara substansi buku ini sangat menarik. Kalimat yang digunakan sederhana, populer dan tidak ilmiah. Ini menjadikan pembaca buku yang tidak suka dengan bahasa berat sangat terbantu, selain itu bahasanya tidak terkesan menggurui, akan tetapi lebih kepada mengajak pembaca untuk melakukan hal-hal positif yang berimplikasi dengan kemajuan pendidikan yang ada di Indonesia.

Buku ini menjadi sebuah penanda pengabdian bagi Agus dalam menekuni dunia pendidikan, selain itu karya ini akan menjadi lompatan awal Agus dalam menghasilkan karya-karya berikutnya. Saya ucapkan selamat atas terbitnya buku yang berjudul Kamu Sangat Spesial. Semoga karya-karya selanjutnya segera bermunculan.

Salam.



[1] Neil Postman and Siti Farida, Matinya Pendidikan: Redefinisi Nilai-Nilai Sekolah (Yogyakarta: Immortal Publishing dan Octopus, 2019), v.