Sejenak mari kita ingat tokoh-tokoh dalam cerita pewayangan. Masih terngiang di ingatan kita, tentang tokoh antagonis (jahat) dalam kisah ramayana—Rahwana namanya, jika dalam versi jawa dikenal dengan nama ‘Dasamuka’—yang berarti sepuluh muka, bukan berarti dia memiliki 10 kepala dalam satu tubuh. Sehingga wajahnya menjulang di hadapan lawan bicaranya dengan 10 muka secara bersamaan.
Akan tetapi dalam cerita dia mampu merubah-rubah wajahnya menjadi seseorang tertentu ketika menjalankan misi. Bahkan, dalam sumber yang lain dikatakan bisa dengan 1000 perubahan wajah. Memang cerita dalam kisah Ramayana ini adalah percintaan asmara yang sangat romantis antara Rama-Sinta, seperti cerita-cerita percintaan Romeo-Juliet, Sampek-Ingtai, Layla-Majnun, ataupun Yusuf-Zulaikha. Cerita dua insan lawan jenis yang sangat sayang jika dilupakan.
Namun, dalam cerita Ramayana kita tidak boleh menutup mata. Tokoh Rahwana adalah tokoh yang juga mencuri perhatian. Singkat cerita, dia menculik Sinta. Semua tahu kalau Sinta ini adalah kekasih dari Rama. Tujuan diculiknya Sinta adalah ingin dipersunting sebagai istrinya, karena Sinta ini memang wajahnya cantik rupawan—membuat orang yang melihatnya ‘kesengsem’.
Rahwana terkenal dengan sifatnya yang galak, bengis, tak kenal kompromi. Kendati demikian, mari kita berpikir, ternyata masih ada sifat sisi baiknya. Hal ini terbukti, Ketika Sinta diculik oleh Rahwana mengapa dia tidak serta merta menodai Sinta? Padahal tak ada halangan barang sedikitpun untuk melakukan hal yang demikian. Sinta kembali pada pelukan Rama sebagai gadis yang masih bersih dan suci.
Sekarang kita berpindah pada cerita yang terkandung dalam kitab epos terbesar—yaitu cerita Mahabarata. Salah satu tokoh dari pandhawa ada yang bernama Yudhistira, dalam versi Jawa dikenal dengan Puntadhewa. Yudhistira adalah simbol kejujuran, kebijaksanaan, keteladanaan, dan juga kedewasaan. Konon, Yudhistira ini tak pernah melakukan suatu kebohongan. Kejujuran baginya adalah harga mati, lebih baik hancur lebur daripada berbohong sekalipun itu kecil.
Namun siapa yang menyangka, ternyata akhirnya Yudhistira melakukan suatu kebohongan yang terorganisir. Itu terjadi ketika terjadi perang Barathayudha. Dimana perang saudara antara pandhawa dan kurawa ini melibatkan guru dari pandhawa, yang bernama guru Durna. Sayangnya guru Durna memihak kurawa. Sebagai seorang murid, pandhawa merasa segan dan tak berani melawan Sang guru.
Guru Durna sendiri mempunyai sumpah, akan berhenti berperang ketika anaknya—Aswatama meninggal dalam peperangan ini. Maka para pandhawa menjalankan siasatnya. Mengalihkan perhatian gurunya dengan mengajak berduel sehingga sang guru tak mampu melihat Aswatama. Aswatama pun oleh pandhawa diajak berduel dengan salah satu anggota pandhawa yang bernama Arjuna. Tempat duelnya pun jauh dari penglihatan guru Durna.
Singkat cerita, pandhawa mengabarkan bahwa Aswatama mati di tangan Arjuna. Dan yang mengabarkan berita ini kepada guru Durna adalah Yudhistira yang terkenal dengan kejujuran. Awalnya sang guru ragu-ragu dan tidak percaya, namun mengingat Yudhistira adalah orang yang paling jujur—maka guru Durna pun percaya.
Pada titik inilah kita mampu memberikan suatu kesimpulan. Rahwana simbol keberingasan dan keangkuhan ternyata masih mempunyai sifat baik. Sementara itu, Yudhistira sebagai simbol kejujuran yang berarti sifat baik, ternyata masih terdapat sisi buruk, walaupun sedikit dan penuh dengan keterpaksaan.
Ibarat pepatah yang berbunyi, “Semut di pelupuk mata tampak, Gajah di seberang lautan tak tampak”. Tak ada yang mampu mengerti isi hati seseorang. Sekalipun dia adalah orang terdekat. Rasanya tak ada insan yang paling sempurna dan paripurna di dunia ini, melainkan Nabi Muhammad saw. Siapa yang mampu mengalahkan kejujurannya? Tak ada satupun.
Terkadang kita membenci seseorang karena pernah berbuat buruk atau salah kepada kita. Sehingga hati ini sulit untuk memaafkan walaupun sudah meminta maaf beribu-ribu kali. Belajarlah memaafkan. Karena masih ada kebaikan orang tersebut. Kapan dan dimana kita bisa menemukannya? Tidak ada yang tahu, tetapi yakin sajalah pasti ada.
Lebih jauh lagi kita diajarkan oleh hadits Nabi, “Cintailah sesuatu (seseorang) sekedarnya saja, karena boleh jadi suatu saat kita akan membencinya. Bencilah sesuatu (seseorang) sekedarnya saja, karena suatu saat boleh jadi kita akan mencintainya”. Di dalam kertas putih bersih, masih ada titik noda hitam yang tak mampu terlihat dengan mata telanjang. Dan di balik coretan-coretan di kertas, masih ada warna putih yang masih kita temukan.
Berlapang dada dan berlapang hati adalah salah satu cara cerdas untuk mampu menerima segala keadaan yang selalu menimpa kita—pasti semuanya ada hikmah di balik itu semua yang akan mengajarkan kedewasaan dan meningkatkan derajat kita.

0 Komentar