Ilmu bagaikan lautan yang tak berpantai, luasnya samudera ilmu bagaikan luasnya alam semesta yang tak terbatas, sehingga walaupun kita belajar dari ujung utara sampai selatan, dari ujung timur sampai barat ilmu Allah tidak akan ada habisnya. Bisa saya analogikan bahwa ilmu yang kita peroleh seperti kita mencelupkan tangan kita ke air laut, maka luasnya samudra ilmu yang mampu kita pelajari adalah seujung air laut yang menempel di ujung jari kita. Apakah sempat kita pikirkan bagaimana kita mampu menguasai ilmu seluas samudra yang kita sendiri tidak tahu ukuran besarnya?. Maha besar Allah dengan segala sesuatunya.
Berbicara ilmu dalam dunia pendidikan memang tidak ada habisnya, bagaikan dua sisi mata uang yang saling menguatkan dan berbagi, mau kemanapun satu sisi mata uang logam tadi pergi pasti sisi yang satunya selalu mengikuti, tak dapat terpisahkan dan sangat mustahil untuk dipisahkan.
Perintah mencari ilmu banyak bertebaran di sana sini, semua orang tahu bahwa ilmu itu penting untuk keberlangsungan hidup dan kehidupan manusia. Bagaimana mungkin seseorang dapat mengendarai mobil kalau saja dia tidak mempunyai ilmunya?. Bagaikan buah simalakama, seandainya injakan gas dikira rem, buahnya adalah musibah atau kecelakaan menjadi tak terhindarkan.
Penting bagi kita “berilmu sebelum berucap dan berbuat” agar kesesatan tidak selalu membayangi kita. Ada pusparagam ilmu dalam kehidupan manusia. Setiap bidang ilmu pasti ada pakarnya. Boleh jadi seorang mahir di bidang ilmu tertentu, tetapi awam di bidang lainnya. Itulah kenapa seseorang tidak dibenarkan mengaku sebagai paling pintar segala-galanya.
Seorang guru atau pendidik pada dasarnya adalah orang yang dianggap paling mengetahui pada bidang tetentu, tidak jarang dianggap mahir dalam segala bidang. Manakala seorang pendidik ditanya oleh peserta didiknya terhadap segala sesuatu yang tidak diketahuinya, sikap bijak seperti apa yang harus diambil, bagaimana dia harus menyikapinya?.
Karena mengingat betapa pentingnya ilmu, Allah melarang seseorang melakukan sesuatu tanpa dasar ilmu, “janganlah kamu mengatakan sesuatu yang kamu sendiri tidak mengetahui, “, terang Allah dalam surah Al-Isra’/17 ayat 36, kemudian ayat tersebut dilanjutkan dengan pernyataan, “sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati setiap orang kelak di akhirat akan dimintai pertanggungjawabannya”.
Jadi jelas sekali dari penuturan di atas, sikap bijak yang harus diambil adalah mengatakan dengan jujur bahwa memang si pengajar atau guru tidak tahu. Bukan merupakan hal yang melakukan jika mengatakan tidak tahu. Bisa kita bayangkan seandainya guru tadi mengatakan sesuatu yang tidak diketahuinya sehingga pada akhirnya malah menyesatkan muridnya dikemudian hari, membawa malapetaka dan kerusakan yang pada akibatnya akan menuju kepada ancaman yang maha berat.
Adapun anak didik Nabi Muhammad mereka telah memberikan contoh paling indah dalam hal berteladan dengan guru mereka. Inilah Abu Bakar Ash-Shidiq, dia berkata’ “langit mana yang akan menopangku, jika aku berkata tentang kitab Allah tanpa dasar ilmu?”. Dan inilah Ibnu Mas’ud, dia berkata, “merupakan bagian dari ilmu, jika kamu mengatakan, Allahu a’lam (Allah Maha Mengetahui)”.
Dalam dunia pesantren sering kita temui seorang Kyai yang telah selesai mengajarkan kitab kuning pada waktu tertentu mengucap Wallahu a’lam bis Showab (dan Allah lebih mengetahui dari yang sebenar-benarnya), dengan mengucapkannya, berarti Kyai tadi mengakui kefakiran pengetahuannya sebagai hamba Allah yang Maha Sempurna, Kyai sadar bahwa beliau hanya manusia tempatnya salah, khilaf, dan lupa.

0 Komentar