Negeri Indonesia memang kaya akan warna budaya, suku, ras, bahasa daerah, dan bahkan sampai merembes ke makanan jajanan kuliner. Hal ini yang menjadikan negara Indonesia menjadi negara yang kaya, bahkan lebih kaya dari negara adi kuasa.
Sehingga tidaklah mengherankan, apabila negara Indonesia menjadi salah satu tujuan untuk kajian sosial-budaya dari negara-negara Eropa dan Amerika. Di Amerika Serikat, Kajian Indonesia menjadi salah satu yang terpopuler.
Bermula dari riset keindonesiaan yang marak sejak 1960-an, pada masa Perang Dingin, kajian Indonesia menjadi pintu gerbang untuk mengenali Indonesia. Tak heran, jika banyak warga Amerika yang memendam asa dan keinginan kuat untuk berkunjung ke Indonesia demi belajar kebudayaan, memperdalam pengetahuan tentang sejarah, serta belajar dari komunitas kita.
Termasuk dalam tataran makanan. Indonesia juga menjadi kajin yang serius. Terutama dalam sisi kulinernya. Dari setiap dentang waktu, kuliner yang ada di Indonesia selalu melahirkan berbagai jenis macam dan warna.
Saya yang tinggal di kabupaten kecil paling ujung selatan dari propinsi Jawa Timur. Sungguh sangat takjub dengan berbagai perubahan yang ada. Utamanya di desa saya, yang jauh dari hiruk pikuk dan riuh renyah ramainya perkotaan.
Saya yakin, di negara Eropa ataupun Benua Amerika, tidak ada yang dinamakan dengan cilot, sempol, kicak, gethuk, cenil, apem, nagasari, dan lain sebagainya. inilah berbagai macam jajanan pasar yang memperkaya akar budaya Indonesia.
Dalam sebuah cerita, saya pernah membaca sekelumit kisah. Di Amerika ada orang asli Amerika yang masih dalam taraf belajar bahasa Indonesia. Dia berbincang-bincang dengan orang Indonesia, dia bertanya “apakah kamu makan kandang?”. Sontak orang Indonesia tadi gelagapan sambil kebingungan. Dalam hati dia berkata, “apa? Kok bisa makan kandang?”. Melihat hal demikian orang Amerika tadi memberikan penjelasan, “I mean potatoe”. Itu sih maksudnya kentang, bukan kandang.
Hal kecil sederhana ini membuktikan kepada kita, betapa luas dan kaya negara Indonesia. Mulai dari kosa kata yang sampai-sampai orang luar pun salah untuk melafalkannya.
Sebagai orang ‘ndeso’, mengenai makanan --tetap selera lidah saya adalah selera ‘ndeso’. Makanan yang selalu bersahabat dengan lidah saya adalah nasi pecel. Baik pagi, siang, maupun malam. Bagi saya nasi pecel adalah sahabat sejati yang tak ada matinya, selalu mengalir terus seperti sungai yang berasal dari sumbernya.
Selain nasi pecel, saya suka dengan makanan ringan, yaitu pisang goreng. Orang ‘ndeso sering menyebutnya “gedang goreng”. Gedang mempunyai makna filosofis tersendiri bagi warga saya. Artinya secara akronim adalah “digeget bar madang”. Atau dalam bahasa Indonesia mampu dimaknai dengan digigit setelah makanan. Maksudnya adalah pisang ini biasanya akan dimakan setelah menyantap makanan pokok, sehingga pisang ini diposisikan sebagai makanan penutup atau pencui mulut.
Pernah suatu ketika saya diajak berkunjung ke suatu hotel, selanjutnya diajak makan ke restaurant. Bingung yang mau saya pesan, karena saya asing dengan makanan-makanan yang dihadirkan dalam daftar menu. Terlebih dengan menggunakan bahasa asing.
Makanan Indonesia memang khas dengan bumbu alam yang alami, ditambah dengan rempah-rempah yang menambah sedap. Sehingga tidak mengherankan kalau di pedesaan kita menjumpai banyak ibu rumah tangga yang memasak bau bumbunya bisa tersebar melayang jauh beberapa kilo meter. Layaknya inilah yang menjadikan alasan logis bagi kaum penjajah untuk menguasai Indonesia, karena kaya akan rempah-rempah sekaligus bumbu masaknya.
Konteks inilah yang jauh-jauh hari sudah diajarkan oleh Nabi Muhammad sebelum lahirnya sejarah Indonesia. Yaitu agar memperbanyak kuahnya apabila memasak. Sehingga apabila baunya tercium sampai ke tetangga kita –mampu untuk kita bagikan kepada tetangga.
Makanan kerap terkait dengan kebudayaan. Dan kebudayaan sendiri lahirnya adalah dari kebiasaan-kebiasaan masyarakat dengan kekayaan kultur setempat. Sejauh seorang berpindah tempat, selera makanannya pasti sukar dirubah. Sebab selera itu dibangun oleh budaya, dimapankan oleh pola atau kebiasaan yang selalu berulang-ulang, sehingga menjadi konsep enak dan tidak enak. Serupa perangkat lunak yang telah melekat dalam benak dan menjadi penilai atas suatu makanan.
Semacam paradoks dalam kebudayaan. Di negeri kita, makanan cepat saji identik dengan kelas berpunya. Hanya orang kaya yang akan makan di situ dan menjadikannya sebagai gaya hidup. Di Amerika, makanan cepat saji adalah pilihan bagi yang miskin karena harganya murah. Meski sejatinya jelas, makanan itu tidak sehat.
Mereka yang makan di McD ibarat sedang memasukkan sampah dalam tubuh. Makanya, salah satu musuh terbesar warga Amerika adalah obesitas. Di sini, amat banyak orang berbadan tambun. Mereka yang kaya akan menjauhi makanan cepat saji. Mereka lebih suka mengakses sayuran dan buah-buahan dari bahan organik sebab dianggap jauh lebih menyehatkan.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/kang_fahru/tak-mampu-menggodaku-selainnya_586b28c4dc22bde517182a22

0 Komentar