Dunia menulis, memang erat kaitannya dengan membaca. Saya kira antara membaca dan menulis adalah dua aspek yang tidak bisa dipisahkan. Keduanya saling terkait-Kelingan, ibarat makan menu lalapan, yang satu bisa dianalogikan menjadi sambal dan yang satu adalah ikannya, ikan boleh apa saja. Bebek goreng, lele goreng, atau juga bisa dara goreng.


Begitupun menulis, setelah membaca seseorang yang berkeinginan kuat untuk mempunyai tulisan. Pasti dia akan berupaya kuat untuk menuliskan hasil yang dibacanya, membaca di sini tidak hanya membaca tulisan saja, akan tetapi membaca bisa bermakna luas. Membaca keadaan sekitar, membaca peristiwa yang terjadi saat itu juga, dan membaca apapun, semua bisa dijadikan sebagai bahan tulisan.

Kembali kepada dimensi menulis. Menulis merupakan aktivitas yang bisa disebut menyenangkan. Iya menyenangkan jika menulis itu dinikmati, dan juga menulis bisa disebut menyusahkan, menyusahkan apabila menulis ini dijadikan sebuah beban. Biasanya beban menulis ini dirasakan oleh mahasiswa, menjadi mahasiswa memang tidak akan jauh-jauh dari tugas menulis, entah menulis makalah, paper, skripsi, dan yang lainnya. Ketika menulis menjadi sebuah tugas, maka rasanya perasan akan selalu dihantui oleh yang namanya "menulis". Seperti hidup segan mati tak mau. 



Banyak orang yang ingin menulis dan menghasilkan sebuah buku, saya kira sah-sah saja. Sebab menulis dan akhirnya menghasilkan sebuah buku, merupakan sebuah kebanggaan tersendiri. Siapa yang tidak bangga ketika bukunya terbit kemudian mejeng di rak-rak toko buku, bahkan skala toko bukunya tidak kelas teri, toko bukunya nasional. Sebut saja, Gramedia dan juga Toga  Mas. Sejauh sepengetahuan saya, dua toko buku ini yang merajai di Indonesia. 

Namun, ketika keinginan mempunyai sebuah buku tidak dibarengi dengan niat, kesungguhan dan aksi. Semuanya akan mustahil terwujud. Memang semangat menulis ini yang sulit untuk dijaga. Namanya manusia, sifat naik-turun menang menjadi sesuatu yang wajar. 

Saya kira, bagi yang berkeinginan menulis sebuah buku masih terasa berat, sebagai latihan atau awal mempunyai sebuah buku adalah menulis buku 'antologi'. Buku Antologi ini sering disebut juga dengan bunga rampai.

Artinya menulis dengan beberapa orang, baik komunitas maupun dengan sekelompok orang yang memang mempunyai minat menulis di bidang yang sama. Ini saya kira menjadi sarana yang bagus untuk menjaga semangat agar menulis tetap bisa terawat. 

Selain itu, buku antologi--meminjam bahasa Bu Tejo--bisa menjadi solusi untuk segera mempunyai sebuah buku, akan tetapi perlu diingat, ini adalah sebuah sarana bukan tujuan. 

Banyak yang telah selesai menulis buku antologi dan terbit, dia merasa sudah cukup sampai di situ. Baginya menulis hanya sekadar tujuan, iya tujuan untuk mempunyai buku antologi. Saya kira, bagi seorang penulis, seyogianya terus dan selalu terus untuk berupaya belajar menulis. 



Saya sendiri mengawali menulis dengan buku antologi, judulnya adalah Geliat Literasi: Semangat Membaca dan Menulis dari IAIN Tulungagung (Lentera Kreasindo: 2015). Buku ini ditulis tidak hanya warga ataupun alumni yang pernah mengenyam pendidikan di almamater IAIN Tulungagung, tetapi luas tak terbatas, penulis dari berbagai lapisan latar belakang. Guru, dosen, mahasiswa, alumni dan lain sebagainya. 

Maka, menulis buku antologi bagi saya pribadi dan semoga bagi semua orang yang ingin mempunyai buku adalah sangat penting. Ini sebagai upaya bahwa sesuatu yang besar harus diawali dari sesuatu yang kecil. Seribu langkah diawali dengan satu langkah terlebih dulu. Sekarang menurut Anda, pentingkah menulis buku antologi?