Ahmad Fahrudin


Dahulu tak terbesit sedikitpun diri saya mempunyai keinginan untuk bisa menulis. Memang ketika ada orang yang bilang setiap hari di sekolah apa tidak menulis? Ataupun ketika saat ini, zaman di mana keadaan semakin mudah untuk menulis, banyak orang menyatakan setiap hari kan sudah menulis. Meskipun hanya menulis status WA, atau membalas pesan WA. Akan tetapi yang saya maksud menulis di sini adalah berada pada konteks yang berbeda. 

Satu hal yang saya ingat betul saat itu. Keinginan untuk bisa menulis muncul setelah saya lulus dari kuliah Strata-2. Keadaan itulah yang sempat menjadi penyesalan saat itu. Dalam hati saya bertanya, "Kenapa tidak dari dulu saya mempunyai keinginan untuk mampu menulis?". Pertanyaan ini menjadi sebuah misteri bagi saya. 

Bahkan seharusnya bagi seorang yang berstatus sebagai mahasiswa, seyogianya menulis merupakan salah satu dari sekian banyak kemampuan yang harus dimiliki mahasiswa. Saya tidak tahu, ke depan akan ada perubahan apa tidak, bahwa tugas mahasiswa sepanjang pengetahuan saya adalah membuat makalah, baik individu atau kelompok. 

Belum lagi jika ingin lulus. Mayoritas kampus mensyaratkan mahasiswa untuk menyelesaikan penulisan skripsi. Ada juga kampus yang memberikan tambahan lagi jika ingin lulus kuliahnya, yaitu membuat artikel jurnal. Nah inilah yang menjadi satu hal penting dan perlu diperhatikan oleh mahasiswa. Sehingga kemampuan menulis seharusnya dimiliki oleh mahasiswa. 

Satu titik balik penting bagi kehidupan saya, saat itu saya mulai senang berselancar di dunia maya, kemudian membaca tulisan-tulisan dari beberapa orang yang memang sudah berpengalaman lama di dalam dunia tulis-menulis. 

Ada yang mengupload karyanya di media sosial, selanjutnya ditawarkan. Itulah awal mula saya mulai menyukai buku. Saya beli buku-buku yang ditawarkan, meski belum tentu saya membacanya sampai tuntas. Dan itu saya lakukan berulang-ulang. 

Sehingga muncul keinginan bagi diri saya untuk bisa menulis, kira-kira apa saya mampu seperti kebanyakan orang, yaitu bisa mempunyai sebuah karya berupa buku? Dan pertanyaan-pertanyaan lain yang datang bertubi-tubi. 

Datang suatu ketika, ada pemberitahuan di face book tentang adanya group menulis, saat itu siapa yang ingin bergabung supaya menuliskan nomor Hp-nya di kolom komentar. Seketika saya menuliskan nomor HP saya dan tidak berlangsung lama saya sudah masuk group tersebut. 

Ya, nama group itu bernama SPN, kepanjangan dari Sahabat Pena Nusantara. Saya sungguh beruntung masuk di dalamnya, banyak para penulis handal yang menjadi anggotanya, sehingga sangat tepat jika ingin merengkuh ilmu yang sebanyak-banyak di dalam group ini. 

Di dalam group ini, aura dan suasana saling menyemangati untuk bisa menulis terus digelorakan, ilmu-ilmu tentang menulis terus dibagikan, dan kesempatan bertanya perihal tulis-menulis dibuka secara lebar. Inilah salah satu hal yang saya kira patut dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. 

Namun saat ini saya sudah lama tidak mendengar kabar group ini. Semoga jika masih ada group ini akan terus eksis dan selalu menyuarakan hal-hal positif tentang dunia menulis. 

Boleh jadi tanpa sebuah group ini, saya sudah jauh sekali tidak bersentuhan dengan tulis-menulis. Dan terkhusus saya mengucapkan terima kasih kepada Pak Naim yang sudah memasukkan saya di dalam group SPN. 

Satu hal di sini yang saya kira penting untuk dijadikan sebuah pelajaran bersama. Yaitu: komunitas menulis. Kenapa ini penting? Jadi, dengan komunitas menulis, WA group misalnya. Akan membuat kita tetap semangat saat sipirit kita menurun, saling tukar tulisan di dalam group dan balas komentar menjadikan aroma literasi semakin harum. Barangkali jika ini tidak berlangsung, group akan seperti mati suri, dan semangat kita semakin lama semakin larut, pupus, hilang ditelan waktu. 

Meski group menulis ini memberikan warna tersendiri bagi anggotanya, aspek yang tidak kalah penting seharusnya muncul dari dalam diri kita sendiri. Ketika menjadi anggota group, jangan hanya sebatas silent reader, ini saya kira juga tidak salah, akan tetapi jika terus-terusan menjadi silent reader, tidak terasa kita akan ketinggalan dengan kemampuan menulis dari anggota yang lain. Sebab anggota yang lain sangat semangat dalam menulis dan membagikan tulisannya di group. 

Ingat, menulis itu bukan sebuah kecerdasan ataupun kepintaran, kemampuan menulis bukanlah sebuah perkara yang diwariskan, akan tetapi kemampuan menulis adalah sebuah keterampilan. 

Bagi yang terus belajar terus-menerus, maka keterampilan olah kata di dalam dunia ini akan secara teratur terbentuk dengan sendirinya. Gaya tulisan, tipe, dan ciri khas tulisan akan terbentuk dengan kegiatan menulis secara berkelanjutan. 

Seperti yang disitir oleh M. Fauzil Adhim, ia menyatakan, "Kita melahirkan gaya tulisan yang khas dan pilihan kata yang sangat berbeda dengan umumnya penulis bukan semata-mata kita ingin berbeda, melainkan hasil dari proses terus-menerus. Kesediaan belajar tanpa henti akan melahirkan inovasi. Kesediaan untuk belajar terus-menerus juga mampu mendorong menuangkan ide secara lebih cerdas, memikat, dan mengalir". 

Apa yang disampaikan oleh Fauzil merupakan pernyataan sekaligus pembuktian, bahwa sekali lagi menulis itu adalah sebuah keterampilan. 

Oleh karena itu, jadikanlah komunitas menulis sebagai motivasi, sarana silaturrahim, bertukar ide-tulisan-ilmu, penambah spirit, dan tempat berlatih. Sehingga keterampilan menulis kita menjadi terus terasah dan terbentuk sesuai dengan ciri khas kita masing-masing.