Ahmad Fahrudin


Buku yang diberi kata pengantar oleh Lies Amin --guru besar Bahasa/Sastra (Inggris) FBS Universitas Negeri Surabaya; dan pegiat literasi--ini memuat pengalaman hidup dari Bapak Emcho--panggilan keren dari Much. Khoiri--bagi saya pribadi buku ini sangat menarik. Buku ini menceritakan begitu banyak hal.

Emcho bercerita secara tertulis di dalam bukunya, mulai dari pengalaman perjalanan hidupnya di dalam negeri dari berbagai kota yang tersebar di Indonesia sampai pengalaman susah senangnya berkelana di luar negeri.

Ada salah satu cerita menarik Emcho, yaitu keajaiban yang terjadi pada beliau ketika pulang dari Madura. Titik itu menceritakan tanpa sadar Emcho mengendarai mobilnya sampai melampaui tempat tinggalnya. Alamat rumahnya ternyata terlewati. Mungkin karena kondisi beliau yang sangat lelah, pusing dan kondisi malam hari.

Emcho menceritakan, "Tadi saya terpaksa melahap sop buntut yang dihidangkan, meski itu pantangan saya. Saat menancap gas, saya rasakan kepala pusing, dan mata terasa berat" (187).Itulah yang sesungguhnya membuat kondisi tubuh beliau kurang fit.

Masih ada cerita yang menggelitik bagi saya, "Ternyata istri tetangga lebih menggelikan”, hampir senada dengan lagu anak muda yang dipopulerkan oleh Group Band Republik “Lebih hangat selimut tetangga”, bahkan ada juga yang menyatakan rumput tetangga lebih hijau. Tema ini terasa begitu membuat ketertarikan pembaca.


Sebenarnya Emcho menceritakan istrinya yang sedang hamil. Istri hamil identik dengan ngidam. Tapi ngidamnya semacam tidak wajar. Ngidam alpukat dalam kondisi yang tidak musim alpukat, sangat menggelikan sekali bagi Emcho. Tapi bagaimana pun sebagai seorang suami apa yang dikehendaki istri waktu hamil menjadi sebuah perjuangan yang istimewa, dan itu bagi Emcho menjadi sebuah anugerah tersendiri.

Yang lebih menggelitik lagi ternyata adalah istri tetangga, bagaimana tidak? Istri tetangga itu ngidamnya suka minta makanan orang lain. Jika ada anak-anak makan kue, dia pasti memintanya, jika ada ibu-ibu masak menu tertentu, dia juga minta. Padahal, andai tanpa meminta pun, segala keinginan pasti terpenuhi--karena tetangga Emcho termasuk orang berada, paling kaya di kawasan ya. (144).

Pengalaman yang lain adalah perjuangan Emcho dalam berhenti merokok. Memang tidak ringan untuk upaya berhenti merokok. Bagi orang yang memang sudah merokok menjadi bagian dari hidupnya--ahli hisab--hal ini sangat sulit untuk ditinggalkan.

Bahkan di kalangan santri pondok jenis salaf tidak jarang kita temui qo'idah yang tersohor “Suparman bacok an, bar mangan rokok an”, atau "Ni'matul 'udud ba'da dhahar".

Ternyata setelah saya membaca buku Emcho saya mulai merenung dan berfikir, karena saya sendiri juga pecinta rokok sekaligus kopi, betapa sombongnya saya dan apatis ketika saya merokok berarti saya telah membuang uang dengan cara membakar rokok.

Di sisi lain masih banyak orang yang kurang mampu, kaum dhuafa atau yatim piatu yang lebih membutuhkan dari pada kita buang percuma. Terus terang sampai saat ini saya sendiri belum bisa berhenti dari kegiatan ahli hisab tersebut. Ini perkara yang tidak mudah bagi saya. Semoga kelak saya bisa berhenti dari persoalan ini.

Masih banyak kisah dan perjalanan Emcho yang diceritakan melalui bukunya yang berjudul Jejak Budaya Meretas Peradaban. Buku ini serasa membawa pembaca ikut menikmati perjalanan Emcho, sehingga emosi pembaca terasa terkoyak-koyak di dalamnya. Banyak cerita inspiratif yang bisa membuka cakrawala kita tentang budaya dan pengalaman hidup.

Saya rasa, buku ini menjadi bahan bacaan bagi mereka yang membutuhkan asupan energi rohani, lewat buku ini jiwa-jiwa yang terasa kering dari percikan kebajikan bisa disiram. Buku ini menjadi oase tersendiri di tengah memudarnya tradisi-tradisi budaya kita yang semakin hilang.

*Artikel ini pernah terbit di facebook pada 16 Oktober 2014 dan diterbitkan kembali dengan perubahan yang seperlunya.